EUTEROFIKASI PERAIRAN

Pengertian Euterofikasi
Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut dengan blooming. Dengan kata lain merupakan pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah dimana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik.

E. Jenis Eutrofikasi
Menurut Goldmen dan Horne (1938), eutrofikasi perairan danau dapat terjadi
secara :
1. Cultural Eutrophication
Yang dimaksud denagan cultural eutrophication adalah eutrofikasi yang disebabkan karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia.
Aktivitas manusia yang menyebabkan eutrofikasi banyak sekali macamnya. Menurut Morse et al (The Economic and Environment Impact of Phosporus Removal from Wastewater in the European Community, 1993) 10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air) menunjukkan bagaimana berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin besarnya jumlah populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air. Dari data statistic di atas juga dapat diketahui bahwa 90 % penyebab eutrofikasi adalah berasal dari aktivitas manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa eutrofikasi cultural lebih banyak terjadi daripada eutrofikasi alami.

Akhirnya, yang harus dimengerti dan disadari adalah bahwa karena Indonesia merupakan negara tropis yang mendapatkan cahaya Matahari sepanjang tahun, maka blooming (dalam arti biomasa alga tinggi) dapat terjadi sepanjang tahun. Artinya kapan saja (asal tidak mendung/hujan) dan dari manapun asalnya kalau konsentrasi nutrien dalam badan air meningkat maka akan meningkat pula aktifitas fotosintesa fitoplankton yang ada, dan jika peningkatan nutrien cukup besar atau lama akan terjadi blooming. Fenomena itulah yang menyebabkan badan-badan air (waduk, danau dan pantai) di Indonesia yang telah menjadi hijau warnanya tidak pernah atau jarang sekali menjadi jernih kembali; tidak seperti di negeri 4 musim seperti Kanada dan Jepang yang blooming hanya terjadi di akhir musim semi dan panas.

2. Natural Eutrophication
Yang dimaksud oleh natural eutrophication adalah eutrofikasi alami yaitu peningkatan unsure hara di dalam perairan bukan karena aktivitas manusia melainkan oleh aktivitas alami. Setiana ( 1996 ) menyatakan bahwa proses masuknya unsure hara ke badan perairan dapat melaui dua cara, yaitu :
• Penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah
• Lewat erosi permukaan tanah atau gerakan partikel tanah halus masuk ke
system drainase
Proses terjadinya pengkayaan perairan danau oleh unsure hara berlangsung dalam waktu yang cukup lama, kecuali proses tersebut dipercepat oleh berbagai aktivitas manusia di sekitar perairan danau.
Eutrofikasi mempunyai dampak yang buruk bagi ekosistem air, diantaranya
sebagai berikut :
• Anoxia (tidak tersedianya oksigen) yang dapat membunuh ikan dan invertrebata lain yang juga dapat memicu terlepasnya gas-gas berbahaya yang tidak diinginkan
• Algal blooms dan tidak terkontrolnya pertumbuhan dari tumbuhan akutaik
yang lain
• Produksi substansi beracun oleh beberapa spesies blue-green algae
• Konsentrasi tinggi bahan-bahan organic yang jika dicegah dengan menggunakan klorin akan dapat menyebabkan terciptanya bahan-bahan karsinogen yang dapat menyebabkan kanker
• Pengurangan nilai keindahan dari danau atau waduk karena berkurangnya
kejernihan air
• Terbatasnya akses untuk memancing dan aktivitas berekreasi disebabkan
terakumulasinya tumbuhan air di danau atau waduk
• Berkurangnya jumlah spesies dan keanekaragaman tumbuhan dan hewan
(biodiversity)
• Berubahnya komposisi dari banyaknya spesies ikan yang ada menjadi sedikit
spesies ikan (dalam hubungannnya dengan ekonomi dan kandungan protein)
• Deplesi oksigen terutama di lapisan yang lebih dalam dari danau atau waduk
• Berkurangnya hasil perikanan dikarenakan deplesi oksigen yang signifikan di
   badan air 

Penyebab Terjadinya Euterofikasi
Problem eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau dan ekosistem air lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah domestik. Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang sesungguhnya berperan besar dalam munculnya eutrofikasi ini. Melalui penelitian jangka panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman (karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.
Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di bidang pertanian. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Akan tetapi botol – botol bekas pestisida itu dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian atau daerah irigasi. Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai – sungai atau danau di sekitarnya. Mengacu pada buku Phosphorus Chemistry in Everyday Living, manusia memang berperan besar sebagai penyumbang limbah fosfat. Secara fisiologis, jumlah fosfat yang dikeluarkan manusia sebanding dengan jumlah yang dikonsumsinya. Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989). Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Pada umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan; sedangkan bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob.

Proses Terjadinya Euterofikasi
Limbah organik kebanyakan akan mengair ke sungai, danau atau perairan lainnya melalui aliran air hujan. Limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN); dengan proses seperti pada reaksi (3) dan (4):
COHNS + BAN è CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain + enerji … ….(3)
COHNS + BAN + enerji è C5H7O2 N (sel MO baru) …..(4)
Kedua proses tersebut diatas mengungkapkan bahwa aktifitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa lainnya seperti amin, PH3 dan komponen fosfor. Asam sulfide (H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin berbau anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain, termasuk ikan.
Selain menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut diatas, hasil dekomposisi di semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas fotosintesa; yang dapat digambarkan sebagai reaksi.
Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan tingkat gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna. Kesulitan fauna karena penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah pencemar organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik memerlukan oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa habis sehingga badan air menjadi anaerob.
Pada badan air yang anaerob dekomposisi bahan organik menghasilkan gas-gas, seperti H2S, metan dan amoniak yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti penurunan oksigen terlarut; senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu akan dapat membunuh fauna air yang ada.
Interaksi kompleks antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut menyebabkan badan air yang mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis fitoplankton tertentu yang pada umumnya tidak bisa dimakan oleh fauna air terutama zooplankton dan ikan termasuk karena beracun.

Dampak Eutrofikasi
Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, menghasilkan senyawa beracun dan menjadi tempat hidup mikroba fatogen yang menyengsarakan fauna air; dekomposisi juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan. Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya. Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan, karena nutrien yang larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya meningkat. Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton. Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan, maka kenaikan kelimpahan keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut. Akan tetapi peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, apalagi dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik dan akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut.
Sehubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air, setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkannya sehingga kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda. Selain itu setiap jenis fitoplankton juga mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham dan. Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai struktur dan dominasi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya.
Selain merugikan dan mengancam keberlanjutan fauna akibat dominasi fito-plankton yang tidak dapat dimakan dan beracun; blooming yang menghasilkan biomasa (organik) tinggi juga merugikan fauna; karena fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen terlarut secara drastis akibat pe-manfaatan oksigen yang ber lebihan untuk de-komposisi biomasa (organik) yang mati. Seperti pada analisis dampak langsung tersebut diatas maka rendahnya konsentrasi oksigen terlarut apalagi jika sampai batas nol akan menyebabkan ikan dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan baik dan mati. Selain menekan oksigen terlarut proses dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S yang pada konsentrasi tertentu dapat membahayakan fauna air, termasuk ikan. Selain badan air didominasi oleh fitoplankton yang tidak ramah lingkungan seperti tersebut diatas, eutrofikasi juga merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, baik yang hidup di tepian (eceng gondok) maupun dalam badan air (hydrilla). Oleh karena itulah maka di rawa-rawa dan danau-danau yang telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan subur oleh tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes), Hydrilla dan rumput air lainnya.
Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya

Penanganan Eutrofikasi
Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam detergen. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengontrol eutrofikasi :
a. Attacking symptoms
• Mencegah pertumbuhan vegetasi penyebab eutrofikasi
• Menambah atau meningkatkan oksigen terlarut di dalam aiR

Bila menggunakan cara ini, ada beberapa metode yang dapat digunakan :
• Chemical treatment yang dimaksudkan untuk mengurangi kandungan
nutrien yang berlebihan di dalam air
• Aerasi
• Harvesting algae (memanen alga) yang dimaksudkan untuk mengurangi
alga yang tumbuh subur di permukaan air

b. Getting at the root cause
• Mengurangi nutrient dan sedimen berlebih yang masuk ke dalam air
Bila menggunakan cara ini, ada beberapa metode yang dapat digunakan :
• Pembatasan penggunaan fosfat
• Pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman.
• Upaya untuk menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen
Cara ini dapat diwujudkan apabila pemerintah dapat menerbitkan suatu peraturan pemerintah atau suatu undang-undang dalam pembatasan penggunaan fosfat untuk melindungi ekosistem air dari cultural eutrofikasi. Di Ameriak Serikat sudah lahir peraturan perundangan mengenai hal ini yang diusahakan oleh sebuah institusi St Lawrence Great Lakes Basin. Di Indonesia sendiri belum terdapat perundangan yang mengatur tentang penguunaan fosfat.






No response to “EUTEROFIKASI PERAIRAN”

Posting Komentar